Senin, 10 Juli 2017

6 Cara Membunuh Bank!


Inilah Skenario Membunuh Bank
Berikut ini beberapa cara untuk mengurangi ketergantungan pada bank.
1. Tagihan bulanan: listrik, telepon, air minum. Mengapa harus menggunakan jasa bank, kalau kita bisa membayarnya melalui biro jasa yang dikelola tetangga kita. Toh biayanya juga tidak beda.
2. Rekening bank. Kalau saldonya tidak pernah kita tambah, dan hanya sekali-sekali digunakan untuk menerima transferan uang, mengapa tidak ditutup saja. Bukankah kita bisa pinjam rekening orang lain — missal: suami/istri, anak, saudara, teman dekat, kalau hanya untuk menerima uang transferan;
3. Tabungan bank. Mengapa menabung di bank kalau mirip menaruh air di ember bocor dan berlumur riba; padahal ada instrumen investasi lain yang lebih menguntungkan sekaligus bebas riba;
4. Kartu anjungan tunai mandiri. Kalau hanya akan digunakan satu-dua kali sebulan, mengapa kita harus memilikinya. Bukankah kita bisa melakukan tarik atau setor tunai melalui kantor bank;
5. Kartu kredit. Bukankah perilaku buruk para debt collectornya bisa kita jadikan alasan paling masuk akal untuk menggunting kartu plastik itu, lalu membuang serpihannya ke comberan atau ke jamban. Kita jangan sok kaya dengan kartu kredit. Kita harus yakin, kartu plastik itu bukan uang. Kartu kredit adalah utang. Kalau disamarkan sebagai uang, ia hanya uang yang akan diterima. Jika uang itu tidak jadi datang, tidak ada pula uang itu; dan
6. Transaksi e-banking, SMS-banking atau m-banking. Mengapa harus merasa lebih modern hanya karena bisa bertransaksi melalui berbagai fasilitas payment itu. Wong agen tiket pesawat saja bersedia mengantarkan tiket pesanan kita sampai ke alamat dan dibayar tunai.
Buat urusan jadi mudah. Karena sebenarnya memang mudah. Kalau memang mudah, mengapa harus dipersulit? Pikirkanlah beberapa hal berikut ini.
1. Keluar dari sistem perbankan sebenarnya hanyalah perubahan perilaku kita dalam bertransaksi. Perilaku dibangun dengan kebiasaan. Jadi, untuk mengubah perilaku bertransaksi, kita harus merubah kebiasaan kita bertransaksi;
2. Kita yang memutuskan tergantung pada bank. Jadi, kita pula yang harus mengakhiri ketergantungan itu;
3. Mengapa kita dulu memutuskan membayar berbagai tagihan bulanan melalui bank? Apakah karena kita ingin bebas-repot dan mendapatkan kenyamanan bertransaksi? Ternyata hanya karena kita malas membayarnya secara langsung dan demi gengsi yang tidak jelas;
4. Meski bank menawarkan berbagai jasa, pelayanan dan produknya kepada kita, namun kalau kita menolaknya dan tidak mengkaitkan diri dengan kegiatan perbankan, kita tidak tergantung pada bank;
5. Kartu ATM dijadikan bank sebagai “kunci” untuk membuka berbagai “pintu” layanan perbankan. Kita harus tidak memiliki kartu ATM, dan kita harus menolak tawaran untuk memilikinya. Jadi, tanpa kartu ATM, kita tidak akan memiliki “kunci” untuk membuka “pintu” layanan perbankan;
6. Semua fasilitas, bahkan kemudahan, kenyamaan dan keamanan bertransaksi yang ditawarkan bank tidaklah gratis;
7. Produk bank mirip candu. Semakin sering dan banyak dikonsumsi, semakin ketagihan. Agar kita tidak kecanduan, tidak tergantung pada bank, kita harus berhenti mengonsumsinya. Kita harus berani menolak tawaran untuk kembali bertransaksi dengan dan melalui bank; dan
8. Dalam praktik, jika kita keluar dari sistem perbankan, artinya kita tidak bertransaksi lagi dengan bank dan tidak bertransaksi melalui bank. Di dalamnya termasuk:
  • Kita tidak menabung di bank. Berarti kita harus tidak memiliki rekening simpanan bank; tidak memiliki kartu ATM, kartu debit atau kartu prabayar bank. Dan jika masih punya, kita harus menutupnya;
  • Kita tidak akan utang (lagi) dari bank. Berarti tidak memiliki rekening kredit bank, dan tidak memiliki kartu kredit (lagi); dan
  • Kita harus menghindari penggunaan produk dan jasa bank.
  • Kita harus membayar tunai untuk setiap transaksi kita, dan kita pun sebaiknya menerima pembayaran secara tunai.
Dikutip dari buku “I Killed The Bank” — hlm. 94-98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar