Senin, 10 Juli 2017

Inflasi, Permainan Api Pemerintah


“Bank-bank adalah aktor utama yang bekerja mengurangi nilai uang, dan bank-bank membuat keuntungan terbesar saat hal itu terjadi. Seiring dengan nilai uang yang berkurang, nilai segala benda juga berkurang. Harga-harga naik dan upah pekerja pun berkurang nilainya. Buruh pekerja terpenjara dalam upah budak.” ~ Shaykh Imran N. Hosein
Semoga saja tiga tulisan bertema inflasi yang diunggah sebelumnya menyadarkan kita bahwa inflasi adalah penting – karena itulah, seperti dikemukakan dalam tulisan sebelumnya – kita perlu memahami pengertian inflasi yang sebenarnya, bukan makna inflasi versi pemerintah.
Ketahuilah, kalau inflasi tidak penting, pejabat pemerintah dan otoritas moneter tidak akan senewen memikirkannya. Inflasi, apalagi bila lajunya tidak terkendali, berpotensi menggusur sebuah rezim. Otoritas moneter kita berusaha berbuat segalanya – termasuk dengan berbohong – untuk mencapai target laju inflasi satu digit.
Bisa dimaklumi karena dampak inflasi menjalar ke mana-mana. Antara lain menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat, biaya membengkak, harga-harga terdistorsi, suku bunga melonjak, menggerus pendapatan masyarakat, memperlebar ketimpangan kaya-miskin, dan investasi pun jadi melempem. Sayangnya, upaya menekan laju inflasi masih berkutat pada bagaimana menjaga laju inflasi yang diinginkan. Bukan pada bagaimana mengusahakan agar tidak terjadi inflasi, dengan meniadakan penyebab utamanya: pencetakan uang kertas.
Bagi rakyat, inflasi tidak mesti berubah dulu menjadi hiperinflasi agar menjadi gawat. Laju inflasi, berapa pun angkanya, mengandung konsekuensi yang tidak boleh disepelekan. Dengan laju inflasi tetap 5% setahun saja – padahal yang sering terjadi angkanya lebih besar – dengan hitung-hitungan sederhana, uang kertas rupiah kehilangan setengah nilainya, dan dengan demikian, harga barang dan tarif jasa pun berlipat ganda hanya dalam 14 tahun.
Dengan lajuinflasi 5% per tahun, rumah yang harganya Rp 100 juta pada2001 akan dijual dengan harga Rp 200 juta pada 2015. Dengan laju inflasi 10%per tahun, harga rumah yang sama akan berlipat dalam tujuh tahun. Sehingga rumah yang harganya Rp 100 juta pada 2001 akan menjadi Rp 400 juta pada 2015.
Benar, di Indonesia laju inflasi jarang melampaui angka 10% – di luar tahun-tahun ketika ekonomi kita mengalami gangguan dan krisis. Tapi rupiah mengalami penurunan nilai yang nyaris konstan sejak kita merdeka, jika diukur dengan harga mobil, rumah dan barang-barang lain, bahkan harga seekor ayam atau kambing, juga dibandingkan dengan emas dan mata uang lain. Apalagi dengan Dinar emas.
Sebelum abad ke-20, jatuhnya harga barang terjadi ketika barang tersedia bagi lebih banyak orang dengan harga lebih murah. Tapi pada abad ke-20, dan berlanjut terus sampai lebih dari satu dekade lebih abad ke-21 ini, dan diperkirakan terjadi seterusnya, yang merosot adalah nilai mata uang.
Pemeritah kita, dan pemerintah mana pun, selalu bermain api dengan sistem dan membiarkan nilai mata uangnya merosot dalam bentuk inflasi, pajak tersembunyi yang mendatangkan keuntungan bagi mereka yang kaya, juga mereka yang sedang berkuasa. Tapi sebaliknya menyodorkan harga melejit bagi rakyat berpenghasilan tetap. Apalagi yang pendapatannya tidak tetap dan mengandalkan uang kertas rupiah agar bisa bertahan hidup. (Simak pula: Orang Kaya Suka Inflasi Tinggi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar