Senin, 10 Juli 2017

Kita Sedang Dibawa ke Satu Sistem: Bank


Teman Dialog Budhi (T): Hai Budhi. Kutunjukkan padamu sebuah foto. Aku ingin memancing pendapatmu. Foto kuambil di In*o***et yang dekat rumahmu. Namanya i-kios. Di sana, mesin ini sudah hadir sejak lebih dari dua bulan silam sejak mesin ini kufoto pekan lalu. Mungkin beberapa tetanggamu malah sudah ada yang pakai. Konon, jumlah mesin ini sudah ada lebih dari empat ribuan unit, hampir sebanyak outlet In*o***et. Eee …
Budhi (B): Mirip kios tiket, ya? Itu, mesin yang disebut vending machine di stasiun kereta api. Lewat mesin ini, perusahaan KA menjual tiketnya. Tampaknya, dengan nambah beberapa fitur, sang vendor mengembangkan kios tiket jadi i-kios, agar tersebar meluas dan mudah diakses, mesin itu ditempatkan di mall atau tempat-tempat belanja modern. Termasuk di In*o***et.
T: Informasi yang kuperoleh, lewat mesin ini, kita bukan hanya bisa membeli tiket KA. Tapi juga tiket pesawat … terbang, tentunya; bukan pesawat televisi. Yang kelas apa pun. Bahkan tiket konser dan wahana rekreasi pun kau bisa beli lewat mesin ini. Ada lagi. Melaluinya kita bisa membeli pulsa semua operator telepon seluler, token listrik PLN dan token game. Mesin ini juga berfungsi sebagai payment point. Karena melaluinya kita bisa membayar belanja secara on-line, beli barang elektronik dan perlengkapan rumah tangga. Bahkan beli es krim dan kue pun bisa. Bayar iuran TV berlangganan, bankan membayar cicilan kredit mobil/motor dan premi asuransi. Katanya sih gitu …
B: Kau lagi promosi?
T: Aku tak ada maksud gitu. Apa komenmu? Singkat saja dulu.
B: Kau ingin aku bilang melalui mesin ini transaksi kita jadi lebih mudah, praktis, efisien, efektif? Ya. Begitulah tujuan mesin ini didekatkan kepada kita.
T: Janganlah terlalu jauh dulu. Komentar yang ringan-ringan dulu, Bro.
B: Baik. Wahai para pedagang kecil yang jual pulsa, token listrik, token game; dan para agen tiket KA, pesawat, konser, wahana rekreasi, pengelola kios bayaran rekening listrik, cicilan kredit dan premi asuransi, bersiap-siaplah. Telah hadir dekat kalian pesaing tangguhmu, yang menawarkan kemudahan, kepraktisan, efisiensi, efektivitas yang lebih dari yang kau tawarkan.
T: Kupancing kau berkomentar lebih jauh terhadap apa yang kulihat di sana. Aku lirik pria pengguna i-kios hanya tutal-tutul di layar untuk gresek tiket KA ke Jakarta. Hampir semuanya sudah terjual. Untunglah ia dapat satu – KA tengah malam dari Surabaya. Setelah masukkan beberapa data – antara lain nama KA yang akan ia gunakan, stasiun asal dan tujuan, tanggal dan jam keberangkatan, kelas KA, jumlah penumpang yang berangkat dan nama serta nomor identitasnya – ia dapat kode booking. Dari sebuah lubang i-kios, keluarlah struk. Ia bawa struk itu ke kasir, lalu ia membayar.
B: Apa kubilang. Transaksi jadi lebih mudah, praktis, efisien, efektif. Selalu begitu. Ini yang mau kau katakan, betul?
T: He eh. Lelaki itu tersenyum kepadaku. “Praktis. Hemat waktu. Saya tak perlu ke stasiun,” katanya. Lalu ia ke kasir. Weh …
B: Itu yang tampak olehmu. Proses menuju riba akan selalu diperlihatkan begitu kepadamu.
T: Ia bayar tunai ke kasir, Bro.
B: Selalu saja kita anggap kita ini makhluk ekonomi. Padahal bukan. Sekali lagi: bukan! Karakter utama kita bukanlah mahkluk ekonomi. Kita bukan unit ekonomi!
T: ^&*#$(!@*& …
B: Eh, ke mana wajahmu?
T: Mendadak endasku mumet ….
(Sayup-sayup terdengar Evie Tamala melantunkan sebuah lagu: “Rambut … rambut … rambut siapa ini?”).
T: Rambutan! Ha … ha … Oke, Bro. Kita lanjutkan.
B: Pemahaman kita akan proses menuju riba selalu superfisial. Terbatas pada anggapan bahwa, misal mobil, obat-obatan, televisi, komputer, kios tiket, i-kios, kartu kredit, kartu ATM itu benda. Atau, misal, menabung di bank, bertransaksi melalui mesin ATM atau i-kios, kios tiket sekadar kegiatan netral. Kepadamu selalu diperlihatkan semua itu mendatangkan manfaat. Kita biasanya menerimanya tanpa banyak cingcong. Soal halal-haramnya kan bergantung pada cara penggunaan atau pemanfaatannya, begitu kita beralasan. Selalu begitu.
T: Weh …
B: Weh lagi. Pakai kata yang pintar dikit, Bro. Dialog kita masih agak lama, nih.
T: Tak apa. Eee… Kuduga, mesin ini adalah kelanjutan atau pengembangan teknologi mesin yang kau sebut “mesin uang angin” itu. Maksudku Electronic data capture (EDC), dan automated teller machine (ATM). Transaksi di i-kios mirip i-banking atau sms-banking, dan transaksi on-line lainnya yang pakai kartu kredit, kartu ATM, kartu flash. Gitu, ya?
B: Gitu kan tampak intelek, Bro. Kuduga juga begitu. Benda, mesin atau sistem transaksi yang kau sebutkan itu adalah bagian dari proses transaksi non-tunai yang sedang digunakan untuk membawa kita menuju masyarakat tanpa uang tunai (cashless society).
T: Bukankan ini bagus, Bro? Kemajuan. Modern. Canggih.
B: Orang yang terdidik oleh sistem itu akan menganggap begitu. Ketahuilah, mereka sedang mendidik dan menggelorakan semangatmu untuk menggunakan sistem mereka, dengan cara menawarkan keamanan serta kebebasan dari rasa takut dan repot. Gerakan ke arah uang elektronik dibangun bukan karena permintaan kita. Misal karena kita tidak puas dengan bentuk uang lama. Atau repot membawa-bawa uang tunai. Tapi keinginan mereka.
T: Jadi, ini bisnis, ya?
B: Yap. Gerakan menuju masyarakat tanpa uag tunai, dari segi teknologi, didorong oleh dunia bisnis yang mencari cara baru mendatangkan uang. Mereka menemukan perangkat yang membuat uang lebih mudah dan lebih aman digunakan oleh konsumen dan pedagang, dan kalau perangkat itu sukses, pendapatan mereka pun membengkak.
T: Aku mulai paham. Jadi, agar perangkat itu bekerja, mereka harus mendidik dan menyemangati kita untuk mencoba sistem mereka. Juga menaku-nakuti kita: jangan bawa uang tunai, nanti kamu dirampok.
B: Gantian aku yang bertanya: sadarkah kalau kau, aku, kita semua, sedang dididik untuk hanya menggunakan satu sistem?
T: Perbankan, maksudmu, Bro?
B: Yap. Kita sedang dibawa ke sana. Kita sedang dididik untuk bayar hanya ke satu pihak. Pihak itu bernama bank! Jika kau beli barang dan jasa apa pun, sekarang, kau akan digiring untuk hanya bayar ke sana. Mesin i-kios atau kios tiket pun terhubung ke bank. Lelaki yang kau temui sedang tutal-tutul layar i-kios memang bayar tiket KA secara tunai. Tapi In*o**ret dan KA-lah yang terhubung ke bank, melalui rekening bank. Sistem perbankan hanya bagian kecil dari sistem satu-dunia.
T: Apa maning kiye, Bro?
B: Sistem-sistem lainnya juga sedang berbaris menuju ke sistem satu-dunia. Politik, ekonomi, sosial … Bahkan teknologi, dan kesehatan. Bro, ketahuilah” dalam sistem satu-dunia ini, bahkan jika kau mengidap gangguan mental, gila, edan, gendheng, kenthir pun, kau yang tinggal di negeri yang lagi kacau-demokrasi, atau teman FB-mu di negeri penjual demokrasi, akan disembuhkan pakai mesin yang sama, ditangani dengan sistem yang sama.
T: Heh …
B: Lima menit lagi waktu sholat Ashar tiba, Bro. Kita sudahi dulu Skype kita, ya …
T: Oke. Apa close statement-mu, Bro. Eh, ethoke-ethoke kita lagi seminar, nih; kayak dosen-dosen itu, harus pakai kata penutup segala. Apa, Bro?
B: Saudara kita, Abdarrahman Rachadi, melalui FB-nya tempo hari memposting kalimat begini: The capitalist educational system is designed to brainwash you into a good, little, obedient, conformist, consumerist, dog. Kira-kira terjemahannya begini: Sistem pendidikan kapitalis dirancang untuk mencuci otak Anda menjadi sedikit lebih baik, patuh, konformis, konsumtif, (maaf) anjing. Saya suka kalimat ini. Kamu suka, Bro?
T: Yes, I like, too, Bro.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar