Senin, 10 Juli 2017

Cara Bertransaksi Orang Merdeka


Beginilah Cara Bertransaksi Orang-orang Merdeka!
Untuk memahami riba, pertama-tama kita perlu memahami rukun bertransaksi. Amir Zaim Saidi mengajarkan, tiga rukun sah-tidaknya transaksi jual-beli adalah:
(1) “Suka sama suka” (antaraadhin minkum)
(2) “Setara” (mithlan bi mithlin), dan
(3) “Kontan” (dari tangan ke tangan atau yadan bi yadin).
Ketentuan antaraadhin minkum — “suka sama suka di antaramu” — harus juga berlaku bagi kebebasan memilih alat tukar, demikian ditambahkan oleh Amir Zaim Saidi.
Marilah kita cek sama-sama, sudahkah transaksi kita dalam bermuamalah telah sesuai dengan yang disyariatkan?
Bagaimana kita dapat mencoba menerapkan tiga rukun sah-tidaknya transaksi?
Saya contohkan saja apa yang kami — saya dan Omar Rofil — lakukan beberapa minggu silam. Kami sebenarnya bisa menggunakan Dirham perak, sebagaimana sejumlah transaksi yang kami dan teman-teman lakukan dalam upaya beristikomah menggunakan Dinar emas dan Dirham perak dalam bermuamalah — karena begitulah Sunnahnya.
Tapi kami sepakat untuk barter. Yakni membarter buku. “I Killed The Bank” dan “Negeri Enam Inci” — masing-masing satu eksemplar dari saya — dengan dua eksemplar buku “The Return of Dinar Dirham” dari Omar Rofil.
(Barter buku juga pernah saya lakukan dengan Aditya, ST (Aditya Kryoadi). Saya mendapatkan bukunya: “Menguasai 45 Efek Dahsyat Photoshop dalam 1 Jam” dan Aditya pun mendapatkan buku saya: “Negeri Enam Inci”. Juga dengan Muhammad Fikri, untuk buku Ilusi Ekonomi Modern karya “Rachmad Resmiyanto” (Pakne Ibrahim) dengan buku “Negeri Enam Inci”).
Kami ridho, dan semoga Allah pun ridho atas transaksi kami.
Kami berusaha memenuhi tiga rukun tersebut. Saya suka dengan buku yang ditawarkan oleh Omar Rofil, Aditya dan Muhammad Fikri, dan mereka pun suka buku yang saya tawarkan kepada mereka — “suka sama suka”. Kami sepakat buku yang ditukar “setara” — jika ada kelebihan pada masing-masing buku, kami mengganggap sebagai saling memberi sedekah. Dan, tentu saja, kontan.
“Itu barter, karena tidak pakai uang,”
Benar. Apa cara pertukaran dengan barter demikian rendah? Oh, tidak! Barter adalah cara bertransaksi orang-orang mereka!
Oligarki bankir para pengikutnya serta para fungsionaris kapitalisme memang mengajarkan bahwa tanpa uang, barang dan jasa hanya dapat diperoleh dengan barter. Barter itu kuno — jadul bingit, deh kalian. Barter juga banyak kelemahannya: memerlukan kebetulan-kebutulan dari sebuah keinginan. Artinya, tanpa ada keinginan bertukar di antara kami, kami tidak akan beroleh buku yang kami inginkan.
Mereka lalu mengatakan, “Padahal ada cara yang praktis, lho, dan ini akan membuat nyaman hidup kalian. Dengan uang, pertukaran bisa dilakukan dengan mudah, nyaman dan keren. Apalagi bila kalian menggunakan jasa perbankan” –– uang yang mereka maksud adalah uang kertas dan uang fiat lainnya: uang elektronik.
Benar. Tapi kami tidak berminat menggunakan jasa bank — omongan kerennya begini: kami sedang berusaha menghilangkan pesona bank.
Kalau kalian menggunakan uang kertas atau uang fiat, lalu masing-masing dari kalian ridho, bagaimana?
Maaf. Kami sedang berusaha menekan penggunaan uang kertas dan uang fiat lainnya, dan barter adalah cara yang ampuh untuk maksud kami itu.
Selain itu, kami memedomani bahwa ketentuan antaraadhin minkum — “suka sama suka di antaramu” — juga harus berlaku bagi kebebasan memilih alat tukar. Bukankah kalau dalam bertransaksi alat tukarnya saja sudah ditentukan — harus “ini”, dan tidak boleh “yang lain” — kami tidak merdeka, dong! (tidak ada kebebasan dalam bertransaksi). Dengan uang fiat, pertukaran justru menjadi tidak “setara” — bukankah ini menyelisihi rukun transaksi?
Ingatlah, pertama, jika posisinya sebagai dayn (surat utang) diterima, yakni sebagai janji pembayaran atas sejumlah ‘ayn (aset), uang kertas atau uang fiat lainnya tidak dapat dipakai dalam pertukaran. Alasannya, dayn tidak dapat dipertukarkan dengan dayn; uang kertas/uang fiat ditukar dengan uang kertas/uang fiat adalah “utang dibayar utang” yang haram hukumnya. Benda tak bernilai tak dapat ditukarkan dengan benda bernilai.
Ingatlah yang kedua: jika posisi uang kertas/uang fiat diterima, maka nilainya harus seberat kertasnya, bukan nominal yang tertera di kertasnya. Jika nilainya dianggap sebagai nilai nominal melalui paksaan hukum (negara), maka nilainya dikacaukan dan transaksinya — menurut syariat — adalah batil. Uang kertas/uang fiat tidak dapat digunakan sebagai alat tukar atau pembayaran.
Begitulah, teman.
(E, mengenai hal serupa, esok atau lusa, insya Allah, saya bercerita yang lain)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar