Senin, 10 Juli 2017

Puasa Nonton TV


Sudah lebih dari setahun aku “puasa TV”. Maksudku, aku tidak menonton tayangan televisi – insya Allah untuk seterusnya. Aku tidak ingin waktuku habis untuk berjuang mengalahkan godaan menonton dia, ataukah melakukan kegiatan yang produktif.
Tinggal sendirian membuatku berkuasa penuh atas semua benda di dalam rumahku. Kotak yang dulu dipuji sebagai benda ajaib itu kuturunkan dari tempatnya. Aku surukkan begitu saja benda konyol itu di pojok ruangan, dengan posisi layarnya menghadap tembok.
Di layar benda itu, konon, berkilas-kilas muncul wanita-wanita dengan kecantikan paling mematikan yang pernah kulihat. Tapi aku berusaha meyakinkanku bahwa aku tidak memerlukan benda dungu itu. Ia kuanggap gas beracun, yang meski tidak berbau, tidak berasa, tidak menyakitiku, tetapi mematikan.
Aku tidak ingin hidupku berlalu dengan menghabiskan waktu di depannya. Aku menolak seseorang, melalui benda itu, melempar “sampah” ke halaman rumahku. Aku tidak akan pasif membiarkan“informasi sampah” yang mengalir melaluinya menumpuk dalam pikiranku. Aku tidak ingin segenap tingkah lakuku adalah duplikasi ke sekian kali tayangan-tayangan acaranya setiap hari.
Ya, sekali-kali “berbuka” sih – tepatnya dipaksa“berbuka”. Misalnya saat aku nongkrong di warung kopi, di warung makan, atau saat berkunjung ke rumah saudara. Selalu saja benda itu sedang menyala dan langsung memapar wajahku saat aku tiba di sana.
Tapi sebentar saja kutatap, karena yang kulihat disana, lagi-lagi, kekonyolan yang tak berkesudahan. Pembawa kabar yang senantiasa bergegas dalam berkata-kata – mirip sopir angkot yang ngejar setoran. Pembaca berita yang tidak berperasaan, karena – bahkan yang wanita dan cantik – meski menyampaikan berita paling buruk dan memilukan pun senantiasa tersenyum.
Di sana, orang-orang-orang bersilang kata pating pecotot, yang lama-lama kurasakan membuat pikiran dan kata-kataku berserakan – dan ini tidak baik bagiku. Pembicaraan mereka mengikis kemampuanku berkonsentrasi dan merenung.
Saat mereka jeda pun, yang kusaksikan hanyalah perintah: beli, beli, dan beli!
Kapitalisme melembutkan dirinya melalui televisi, dalam bentuk opera sabun berseri-seri, fantasi seksual paling liar dan advertensi yang charming, dan mitos-mitos yang menebar ketakutan: “awas, kau akan ketinggalan zaman”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar