Senin, 10 Juli 2017

Iklan Mencekoki Kita agar Hidup di Luar Kemampuan


Jika seseorang atau sebuah lembaga beriklan, mestilah ada yang ingin diungkapkan; ada tujuan yang hendak ia raih.
Iklan mampu membentuk sense kita terhadap nilai-nilai––tentu nilai-nilai kapitalisme-riba. Bahkan meskipun iklan tidak merengek-rengek agar kita membeli barang dan jasa, atau merongrong kebiasaan belanja kita. Meski sebuah iklan tidak mesti membujuk kita untuk membeli sesuatu, tapi iklan digunakan untuk mendukung sikap dan gaya hidup tertentu––sikap dan gaya hidup kapitalisme-riba.
Sekali lagi, iklan tidak netral. Konsumsi-lah yang disasar. Dasarnya adalah materialisme. Seseorang bisa lebih bahagia jika memiliki benda-benda material––kita harus menolak argumentasi ini, karena kita bukanlah makhluk ekonomi.
Alih-alih memproduksi citra realitas, iklan memunculkan simbol-simbol familiar untuk menciptakan pandangan yang ideal tentang realitas, atau realitas yang semestinya. Terdapat kemiripan antara citra iklan dan simbol-simbol yang telah dikenal oleh massa. Misalnya, telepon, meja kerja dan ruang kerja di kantor untuk membangkitkan citra tentang dunia bisnis. Contoh lain: cermin, mutiara dan gadis pelayan cantik untuk menggambarkan kemewahan sekaligus feminitas. Untuk menggambarkan ragam tipe sosial atau karakter manusia, iklan juga sering menggunakan tokoh-tokoh dalam mitologi atau dongeng yang ada di tengah masyarakat tertentu. Karena sifat-sifat sosial tokoh-tokoh tersebut telah dikenali, maka tujuannya adalah menyediakan beragam model kepribadian––terutama yang modern, yang ujung-ujungnya adalah pengenalan sikap dan simbol kapitalisme-riba lainnya, agar menjadi panutan atau trendsetter.
Selain itu, tidak ada iklan yang pesimistis––iklan sepenuhnya optimistis. Iklan menyajikan masalah apa saja yang tawaran solusinya dapat ditemukan dalam produk atau gaya hidup tertentu––yang dimaksud ya gaya hidup kapitalisme-riba. Agar dapat diterima massa tanpa kesan mendikte, iklan menggabungkan antara hal-hal baru, tradisi dan komersial.
Yang paling berbahaya dalam iklan adalah karena media ini menyederhanakan dan mencirikan; tidak menegaskan untuk menggambarkan realitas sebagaimana realitas yang semestinya atau yang terjadi. Semacam menawarkan “hidup yang melebihi kenyataan”.
Iklan memang menawarkan mimpi. Yang diiklankan adalah mimpi manusia. Secara finansial, kita mungkin tidak mampu membeli produk yang diiklankan, dan di sinilah iklan difungsikan agar kita “seakan-akan” mampu membelinya.
Melalui iklan, kita dibombardir “hidup yang melebihi kenyataan”. Iklan mendekatkan kita pada produk yang ingin kita beli, dan iklan menyediakan solusinya. Tentu saja, solusi-solusi di jalur kapitalisme-riba adalah pinjaman perbankan––semua bisa terbeli karena diganjel kredit! (Baca: Bank, Aktor Utama Sistem Produsen-Konsumen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar