Senin, 10 Juli 2017

Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Sales Riba


Konon, lima norma baru (the new norms) dunia sedang berlangsung dalam konteks pembangunan di negara mana pun saat ini. Yakni peran ilmu pengetahuan modern yang meningkat, argumen yang rasional, promosi pasar bebas, perubahan kontrak sosial, dan kesepakatan multilateral.
Hampir semua negara mengarahkan kegiatan ekonominya, yang sebagian besar didasarkan pada riba, pada praktik berbasis pengetahuan dan inovasi, menggeser praktik ekonomi tradisi. Kebijakan-kebijakan berbasis kapitalisme-riba dipilih dan dikerjakan secara saksama sesuai dengan informasi dan penjelasan yang logis. Kontrak-kontrak sosial dibuat berdasarkan kesepakatan antara yang mengatur dan yang diatur. Ekonomi berbasis riba digerakkan dengan tata kelola baru melalui mekanisme pasar bebas dan kesepakatan internasional.


Pelaksanaan satu dari lima norma baru itu, yang segera berlaku di Indonesia adalah apa yang sejak beberapa bulan silam dipromosikan: pasar bebas ASEAN, lewat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pranata globalisasi/liberalisasi di tingkat ASEAN ini diberlakukan mulai hari pertama 2015.
MEA merupakan satu dari puluhan blok perdagangan yang didirikan dalam 20 tahun terakhir ini, yang sudah diawali sejak IMF dan Bank Dunia yang berdiri pada 1940-an, lalu diteruskan dengan APEC sejak 1989 dan WTO yang diratifikasi pada 1994.Jadi, wahai Anda sekalian, pahamlah mengapa presiden baru kita bergegas datang ke KTT APEC selang beberapa hari setelah dilantik, karena rezimnya begitu yakin bahwa koneksi ekonomi menjanjikan percepatan sirkulasi kegiatan ekonomi yang berdampak terhadap pembesaran hasil perdagangan, investasi dan lain sebagainya.
Hasilnya sudah Anda saksikan. Yakni dalam fenomena yang Anda respon sejak dua bulan silam. Anda bisa mengenalinya melalui respon mereka yang diuntungkan: “Ini baru presiden Indonesia!” Atau melalui respon mereka yang merasa dirugikan: “Ini presiden apa to, negara kok dijual!”
IMF, Bank Dunia, WTO, dan puluhan blok perdagangan (termasuk di dalamnya MEA) adalah sales liberalisasi ekonomi dan perdagangan berbasis riba. Tentu agar misi para sales riba terpatri di setiap kepala manusia, termasuk kita, lembaga-lembaga itu memerlukan orang-orang yang menjadi kepanjangan tangannya. Siapa mereka?
Mereka pernah melakukannya pada awal 1990-an ketika globalisasi dipasarkan. Para sales riba ini menyisipkan kosa kata “globalisasi” dalam setiap pidato mereka. Menyisipkannya dalam perbincangan, bahkan dalam humor atau banyolan mereka. Menjadikannya sebagai tema tulisan di berbagai media publikasi cetak dan media literasi lain.
Hari-hari ini, bersama para antek yang direkrut, para sales riba juga sedang gencar memasarkan MEA. Sebagian dari kita menjadi bagian dari mereka. Ada yang karena dibayar. Celakanya, ada yang tanpa diupah tapi melakukannya tanpa sadar.
Janganlah heran, di level rapat kampung pun hari-hari ini kita mendengar kosa kata “MEA” meloncat dari mulut seorang Kades, bahkan ketua RT kita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar