Senin, 10 Juli 2017

The Bank Must Die!


“KREDIT Pak Budhi belum jatuh tempo. Kalau dilunasi sekarang, Pak Budhi akan dipenalti,” kata pria pegawai bank yang melayani saya di meja customer service.
Pria berdasi itu agaknya mengerti situasi yang akan segera terjadi. Ia berusaha meraih kembali kuasa banknya yang ia tahu akan segera berakhir atas diri saya.
Tidak! The bank must die!
Dalam setiap doa, saya telah meminta Allah Subhanahu wa ta’ala menghadirkan situasi ini. Saya tidak akan membiarkan bank, melalui pria itu, merebut kembali kemenangan yang sudah di depan mata. Sejak lama saya telah menunggu hari kemenangan saya. Dalam hitungan beberapa menit ke depan saya akan bebas-merdeka dari pemerasan dan penjajahan oleh bank. Saya ingin bebas dari riba jahanam yang tercipta akibat kebodohan saya membeli rumah dengan kredit bank jangka panjang yang saya lakukan belasan tahun silam.
“Penalti? Saya handsball, ya?”
Lelaki yang saya perkirakan seusia saya itu mengira saya hendak melucu. Ia mencoba tertawa. Saya melihat mulutnya telanjur terbuka. Saya sempat melihat satu giginya sudah tanggal. Tapi ia batal tertawa. Saya yakin ia sebenarnya tidak ingin melakukannya. Apalagi kemudian saya malah pasang mimik muka serius di depannya.
“Maksud saya, Pak Budhi harus membayar denda.”
“Silakan didenda.”
Saya mengutuk dan selalu membayangkannya dengan penuh kebencian: saya mau kamu penalti, mau kamu denda, terserah; kamu kan dibayar untuk memeras orang; gaji kamu kan keringat orang-orang yang kamu buat susah dan miskin!
Logika Jungkir Balik
Logika para bankir memang jungkir balik. Nasabah yang menunggak angsuran diperas.
Nasabah yang melunasi kredit yang belum jatuh tempo juga diperas. Maklumlah, jika kredit dilunasi sebelum waktunya, para bankir tidak akan beroleh pendapatan bunga.
Pria itu kemudian menjelaskan ketentuan yang diberlakukan oleh banknya. Mengenai pelunasan kredit sebelum jatuh tempo. Denda bagi nasabah yang menunggak angsuran. Ia pun menerangkan aturan ini-itu yang bagi saya malah bertambah yakin betapa berutang pada bank laksana mengikat perjanjian dengan setan. Para nasabah bank yang pernah gagal bayar punya segudang pengalaman buruk berhubungan dengan para bankir dan penyesalan yang mendalam karena telanjur menandatangani perjanjian kredit yang lebih mirip kontrak kriminal.
Setan. Ini bukan soal pilihan diksi. Saya sengaja menggunakan kata “setan”, baik dalam arti yang sebenarnya maupun kiasan. Siapa pun yang mendengar kata “setan” di benaknya akan tergambar aneka puncak kejahatan dan keburukan. Selain dipahami sebagai roh jahat yang selalu menggoda manusia agar berlaku jahat, kata “setan” juga digunakan orang untuk memarahi. Bahkan memaki atau mengumpat. “Setan alas!” demikian orang Brebes memaki – alas artinya hutan. Kata “setan” juga dipakai untuk menunjuk orang yang sangat buruk perangainya.
Manusia tidak harus merujuk ke kamus-kamus bahasa atau mencari kata-kata hikmah dan penjelasan dari siapa pun untuk mengetahui secara umum sifat-sifat setan karena kata “setan” telah dipahami oleh manusia sebagai lambang kejahatan atau, bahkan, wujud kejahatan sehingga ia bagaikan sesuatu yang bersifat indriawi dan nyata, bukan imajinatif dan abstrak. Setan atau syaithan artinya lawan atau musuh. Akar katanya, syathana, artinya jauh, karena setan menjauh dari kebenaran atau menjauh dari rahmat Allah. Jika terambil dari kata syatha, artinya melakukan kebatilan atau terbakar. Semua yang membangkang, baik jin, manusia, maupun binatang, juga dinamai syaithan.(1)
Allah Subhanahu wa ta’ala pun menyebut setan sebagai “musuh yang nyata” bagi manusia, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “ … janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”(2) Kata “setan” tidak terbatas pada manusia dan jin, tetapi juga berarti pelaku sesuatu yang buruk atau tidak menyenangkan, atau sesuatu yang buruk dan tercela. Setan adalah lambang kejahatan dan keburukan. Setan bukan sekadar durhaka atau kafir, tetapi sekaligus mengajak kepada kedurhakaan.(3)
Dalam makna seperti itulah setan yang saya maksud. Di dalamnya juga tercakup dalam perilaku para pemakan riba – bunga bank adalah riba – sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit jiwa.”(4)

Totaliternya Bankir
Pengalaman delapan tahun bekerja sebagai karyawan bank telah mengajarkan pada saya bahwa tak seorang pun nasabah akan menang bertengkar melawan bankir, bahkan dengan cecunguknya Apalagi jika nasabah masih memiliki kewajiban yang harus ditunaikan. Saya pun tahu, komitmen para bankir demikian total. Mereka akan tetap memaksa para debiturnya untuk menuruti aturan mereka, tanpa toleransi. Maka, saya juga harus total pada tekad saya untuk menggengam kemenangan yang sudah di depan mata. Akan saya turuti perkataan karyawan bank itu. Saya akan bilang ya, ya, dan ya. Saya harus berkata-kata seperlunya saja.
“Berapa?”
Pelatihan panjang yang telah ia jalani membuat pria itu tetap mencoba menahan diri untuk tidak mengikuti permainan saya. Ia mencoba bersikap profesional sebagaimana diajarkan kepadanya melalui serangkaian pelatihan selama berkarier. Ia meraih kalkulator dan menyentuhkan jari telunjuknya di atas angka-angka pada mesin hitung itu. Rupanya tembok emosi pria itu jebol. Di depan saya kini terhidang pemandangan yang dulu saya sering saksikan saat seorang bankir mengeksekusi hukuman bagi nasabah yang menunggak angsuran kredit. Pria itu mengganggap saya seorang pesakitan. Tingkahnya makin menyebalkan karena ia menganggap dirinya malaikat yang sedang menjumlahkan dosa-dosa saya. Saya muak melihatnya.
Giliran saya yang kini harus menahan diri untuk tidak bertingkah lebih keterlaluan. Saya menghela napas pelan, berusaha terkendali. Saya tidak ingin pria itu merebut kembali kemenangan yang segera saya nikmati. Saya tunjukkan kepadanya bahwa saya tidak harus mati gaya di depannya, walaupun ia sedang menghitung-hitung hukuman buat saya.
Saya mengeluarkan rokok dan korek api dari kantong celana dan menaruhnya di atas meja. Saya tidak berniat membakarnya karena saya tahu tindakan saya dapat menodai kemenangan yang akan saya raih. Saya rebahkan pungung saya ke sandaran kursi. Saya duduk meniru cara duduk seorang majikan menghadapi buruhnya. Kedua lengan saya letakkan di tangan kursi. Satu kaki saya tupangkan ke kaki lain. Mata saya jelalatan, menyapu seluruh isi dan permukaan ruangan, seperti seorang bos yang sedang mencari-cari ketidakberesan kerja karyawannya. Di ruangan pelayanan nasabah, saya lihat ada belasan orang yang sedang menunggu giliran dilayani. Tapi mereka saya anggap tidak ada. Yang ada hanya saya dan pria di depan saya yang sedang mengerjakan perintah saya.
“Jumlahnya …” Pria itu menyebut sebuah angka.
Saya pura-pura tidak mendengarnya. Saya tidak merespon. Prek!
“Pak Budhi, jumlahnya …’” Pria itu mengulang ucapannya.
“Sa-ya-ba-yar!” Saya mengatakannya seperti mengeja per suku kata. Saya hendak menegaskan kepadanya bahwa saya bukan hanya ingin memenangkan pertandingan, tapi saya juga akan menganulir gol penaltinya.
“Baik, silakan Pak Budhi selesaikan dengan teller kami.”
“Ya.”
“Ada yang lain yang bisa saya bantu?” kata pria itu saat saya mengangkat pantat dari kursi.
Ah, lagi-lagi kalimat standar itu saya dengar. Kalimat tanpa makna dan membosankan itu kali ini terdengar sangat buruk di telinga saya. Entah kenapa para rentenir itu selalu saja mengucapkan kalimat itu dengan bangga. Menawarkan bantuan seakan makhluk berhati mulia.
Saya menggelengkan kepala.
“Baik, Pak Budhi. Selamat siang.”
Saya menuju deretan kursi nasabah yang menunggu giliran dilayani teller. Siang itu saya merasa setiap langkah kaki saya di kantor bank itu berarti satu gol kemenangan buat saya. Dan setiap satu langkah kaki saya menuju tempat parkirnya artinya juga satu gol penalti pemain lawan yang saya anulir tanpa saya harus menjadi wasit.
Oke, bankir. Hari ini kamu mungkin kehilangan hanya satu nasabah. Sekali lagi, satu nasabah. Bagi kamu, mungkin tidak berarti apa-apa. Tapi ketahuilah olehmu, hari ini satu orang nasabah itu bukan hanya telah berhasil keluar dari penjara utang dan jerat riba yang kamu ciptakan. Nasabah itu hari ini juga telah menang melawan-memerangi kamu. Orang itu sudah merdeka dari penjajahan bankir. Ingat, kamu akan selalu bermimpi buruk jika kamu tahu ratusan, bahkan puluhan ribu, orang saat ini sedang melawan-memerangi kamu. Ribuan orang lainnya akan segera menyusul untuk bebas-merdeka dari pemerasan dan penjajahan yang kamu lakukan selama ini. Ingat itu!
Tiba-tiba handphone saya menyalak. Suara di ujung telepon rasanya tidak terlalu asing di telinga saya. Perempuan karyawan bank ini beberapa kali mengingatkan saya untuk membayar angsuran kredit pemilikan rumah.
“Siang, Pak Budhi. Beberapa hari lagi akhir bulan, lho. Kami tunggu setorannya, ya.”
“Weh, saya mimpi, to.”
Saya mendapati diri saya bukan di parkiran bank. Tapi di kantor Penerbit Delokomotif. Laptop di atas meja di depan saya masih menyala. Rupanya sirup obat batuk hitam yang saya minum untuk melawan flu melaksanakan tugasnya dengan baik. Saya ngantuk, tertidur di kursi dan bermimpi.Saya sangat menginginkan dapat melunasi KPR sebelum jatuh tempo. Keinginan ini rupanya muncul dalam mimpi saya. Saya bertawakal, semoga Allah Ta’ala mengabulkan doa saya untuk segera bebas dari utang jangka panjang itu. Saya ingin bebas dari riba jahanam yang tercipta akibat kebodohan saya membeli rumah dengan kredit bank jangka panjang yang saya lakukan belasan tahun silam.
Catatan Akhir:(1) M. Quraish Shihab; Yang Halus dan Tak Terlihat: Setan dalam Al-Quran; Penerbit Lentera Hati, 2010; hlm. 19-23.
(2) Al-Quran Surat Al-An’aam: 142.
(3) M. Quraish Shihab; Yang Halus dan Tak Terlihat: Setan dalam Al-Quran; Penerbit Lentera Hati, 2010; hlm. 25.
(4) Al-Quran Surat Al-Baqarah: 275.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar