Senin, 10 Juli 2017

Oligarki Perbankan


Sebagian orang mungkin menganggap semua yang telah digambarkan itu sebagai abstrak. Tapi tidak bagi saya. Siapa pun yang waras hati dan otaknya, sehingga dapat memahami bahwa realitas ekonomi di sekelilingnya sudah jauh dari fitrah, dapat menyaksikan fakta dengan mata telanjang bahwa di jalan-jalan utama di berbagai kota di negeri ini, bahkan di negeri mana pun di muka bumi ini, tidak tampak sesuatu yang lain kecuali pemandangan yang seragam. Yakni deretan gedung atau kantor bank, tempat para rentenir modern berkantor, yang menggambarkan lembaga-lembaga raksasa perbankan.
Gedung-gedung tinggi itu, atau kator-kantor yang bagus itu, di dalamnya berisi orang-orang berdandan bagus dan wangi. Di sana, mereka bekerja dan beraktivitas lain di ruangan-ruangan mewah, nyaman dan berpendingin udara. Gedung atau kantor itu, beserta seluruh isinya, termasuk orang-orang di dalamnya, dalam penjagaan keamanan maksimal selama 24 jam sehari. Bahkan pengamanannya melibatkan polisi, pihak yang semestinya menjaga keamanan rakyat yang membayar gajinya dengan uang pajak dan retribusi dan pungutan lain yang dilakukan pemerintah–hanya karena kantor para rentenir itu diklaim sebagai objek vital, yang karena itu harus dijamin keamanannya secara penuh dan tanpa putus sedetik pun.
Orang-orang kaya pun mempercayakan uangnya disimpan di sana. Gedung-gedung itu disesaki para penitip uang besar yang berharap dapat untung tanpa berusaha. Bankir memang memanjakan para pemilik uang besar dengan memberi bunga yang tinggi pada tabungan dan deposito mereka, dan pada saat yang sama para bankir menikmati keuntungan melimpah dari bunga pinjaman. Para bankir dan pemilik dana besar itu tidak peduli terhadap perekonomian yang membutuhkan pinjaman bank berbunga rendah, dan abai terhadap suku bunga acuan yang ditetapkan oleh “rentenir besar” yang mengatur kerja mereka, sehingga membuat perekonomian tidak bisa melaju lebih cepat.
Para pengusaha pun rela antre di depan loket bank, berharap mendapatkan pinjaman modal. Berkat utang berbunga dari bank, sebagian dari mereka sukses lalu memuja bank. Merasa berterima kasih karena telah dipinjami uang oleh bank, lalu mereka berbagi pengalaman berutang, melalui berbagai forum: “Kalau ingin sukses dan kaya, jangan takut utang bank,” kata seseorang dari mereka. “Berani berwirausaha harus berani pula utang di bank,” kata yang lain. “Jika bank memberi kita kredit, itu artinya kita dipercaya, dan semakin besar utang kita pada bank, kita semakin kredibel,” kata yang lain lagi.
Namun sebagian lainnya “gagal bayar” dan tersuruk di got utang. Mereka mengutuk para bankir karena merasa berutang dengan sistem bank laksana mengikat perjanjian dengan setan, tersebab para bankir itu segera memusnahkan kekayaan para debitur “gagal bayar” dan menjadikan utang mereka sebagai sumber pendapatan bank yang tiada putus.
Harta para debitur default itu, plus pendapatan bunga yang dihasilkan kredit, hanyalah sebagian kecil saja dari kekayaan bangsa-bangsa yang hari-hari ini mengalir deras ke brankas para bankir. Menurut Tikwan Raya Siregar, apabila bumi ini dipandang secara bulat dengan determinasi ekonomi, maka satu-satunya yang konsisten adalah gerak mengalirnya kekayaan bangsa-bangsa ke dalam satu wadah raksasa bernama bank (Krisis Eropa, Bank dan Debtorship, Medan Bisnis, 15 Nov 2011).
Para bankir kini tumbuh menjadi kelompok aristokrat baru. Bankir pun berkembang menjadi profesi impian jutaan orang muda terdidik. Produk dan jasa bank menjadi simbol kemapanan hidup seorang manusia. Bahkan literatur mereka telah membanjiri lembaga-lembaga pendidikan kita. Maka tidaklah aneh kalau sekolah dan universitas kita tidak pernah mengajarkan kepada para murid dan mahasiswanya mengenai praktek riba dan penciptaan uang oleh bank. Maklumlah, para penyusun kurikulum pendidikan kita dibayar oleh para bankir, dan bahkan sekolah dan kampus pun dibangun dengan uang pinjaman bank.
Wajah kampus perguruan tinggi kita, setelah sebe-lumnya mall, supermarket dan tempat-tempat publik lainnya, kini menjadi hampir seragam, karena di sana juga hadir kantor bank dan/atau rumah ATM yang di dalamnya terdapat mesin riba yang memungkinkan setiap orang terlibat riba tanpa perlu bantuan bankir atau karyawan bank.
Sementara itu, meski banyak opini ilmiah untuk dipilih pun, tapi para pembuat kebijakan di negeri ini merasa tidak punya banyak peluang untuk mengidentifikasi alternatif lain yang paling layak, dan mengganggap teori dan praktik serta sistem moneter mereka sebagai benar dan final. Padahal apa pun yang mereka upayakan telah terbukti tidak mampu memperbaiki keadaan, karena sistem ekonomi liberal-kapitalistik yang mereka pakai sebagai dasar adalah sistem yang mengandung cacat laten.
Perbankan kini berada di puncak piramida kekuasaan ekonomi. Kuku-kuku kekuasannya mencengkeram sema-kin kuat. Pengaruh politik para bankir semakin dalam. Melalui kekuasan oligarki, mereka sukses mendiktekan pendapatnya sebagai opini publik melalui media massa yang mereka kuasai. Yang berada di pucuk kuasa sebuah pemerintahan atau negara bukanlah presiden atau perdana menteri. Tapi para bankir.
Kekuasaan para bankir atas berbagai media mainstream utama menyebabkan para jurnalisnya tidak merasa leluasa mengupas kejahatan dan konspirasi busuk mereka, topik-topik liputan yang sebenarnya sangat penting bagi para pembaca medianya. Media massa sudah merasa bebas hanya karena boleh membahas tema apa pun, bahkan mengenai siapa presiden mendatang. Media massa gencar mengajarkan rakyat berdemokrasi. Tapi media massa tidak pernah bersedia menyinggung riba perbankan. Apalagi soal “demokrasi alat tukar”, yakni kebebasan memilih mata uang sebagai alat tukar atau transaksi.
Belasan saluran televisi kita lebih parah lagi. Mereka lebih suka melakukan pembodohan massal melalui tayangan sinetron di primetime dan program-program yang tidak mengandung unsur edukasi. Tidak bermutu. Tidak pula jelas tujuannya. Alih menjadi media pendidikan bagi masyarakat, televisi malah lebih suka menyuguhkan kuis-kuis pembodohan yang menawarkan hadiah melebihi jumlah upah rata-rata seorang buruh untuk mereka yang dinyatakan benar menjawab pertanyaan tolol. Sekali lagi kita tahu penyebabnya: para bankir telah menguasai dan megontrol sebagian besar media massa kita.
Perbankan pun mendapatkan perlindungan hukum yang begitu kuat. Negara mendesain bank untuk menjadi institusi bisnis yang tidak boleh merugi, tidak boleh bangkrut. Karena lebih kuat daripada negara, maka kalau bank merugi pun negara siap menyelamatkannya dengan menggelontorkan uang (membailout) buat mereka.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar