Senin, 10 Juli 2017

Dialog Imajiner dengan Riba


Suatu hari, Riba menemui seseorang yang dulu adalah temannya.
“Apa kabar, teman? Lagi sibuk, ya?.”
“Emang kenapa? Untuk apa kau kemari?”
“Sekadar mampir.”
“Di sini bukan warung kopi.”
“Setidaknya jawablah dulu salamku, teman.”
“Eit … Aku bukan temanmu. Aku tidak ingin jadi temanmu.”
“Jawablah salamku.”
“Tidak. Aku tidak akan ramah lagi padamu.”
“Kalau gitu, kau komentari-lah penampilanku.”
“Berantakan.”
“Keren begini? Jangan salah mata, teman. Ups! Eee … Aku cuma nggak sempat ganti baju. Terlalu banyak order. Orang-orang lagi suka kreditan mobil dan motor.”
“Peduli amat. Kau sekarang musuhku.”
“Kau bilang apa tadi? Aku berantakan?”
“Ya. Hancur. Aku jijik melihatmu.”
“ Yah, beginilah aku sekarang di mata kalian.”
“Mampus pun aku tak peduli.”
“Weh …”
“Cepat katakan apa keperluanmu?”
“Aku …”
“Jangan coba-coba menawarkan sesuatu!”
“Aku … aku …”
“Ya, aku … aku … apa?”
“Aku benci kamu. Juga sahabat-sahabatmu. Kalian makin menjauh dariku. Benci aku!”
“Alhamdulillah.”
“Kok?”
“Kami bersyukur kalau kau benci kami.”
“Eee …”
“ Hei, siapa yang suruh kau duduk!”
“Jangan keras begitu, teman.”
“Hei! Saya peringatkan sekali lagi, kita sedang berperang!”
“Kita kan pernah berteman. Sahabat-sahabatmu itu juga pernah jadi temanku.”
“Ya. Dulu. Sekarang tidak. Insya Allah, untuk selamanya.”
“Tapi aku masih boleh kirim e-mail, kan?
“Langsung kuhapus.”
“SMS? Yah … sekadar say hello.”
“Jangan coba-coba …”
“Eh, tapi pesanku tempo hari sampai, kan? Kau tak membalas?”
“Langsung aku delete.”
“Eee …”
“Menjauhlah …”
“Wow, ada orderan baru masuk, nih. Aku pamit dulu, ya.”
“Aku tidak mengundangmu.”
“Lain waktu aku mampir lagi.”
“Kami telah sediakan kapak untukmu.”
“Dah …”
“Ya Allah, lindungilah kami dari godaan dia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar