Senin, 10 Juli 2017

Orang Kaya Suka Inflasi Tinggi


“Sekarang ini kekayaan beredar di antara orang-orang kaya saja. Akibatnya, saat ini di seluruh dunia orang-orang kaya tetap kaya, sedangkan orang-orang miskin terpenjara dalam kemiskinan permanen.”
Jika menyimaknya sambil lalu, dampak buruk inflasi – yang secara sembrono selalu dikaitkan dengan kenaikan harga barang dan jasa – sepertinya ditimpakan sama rata atas semua orang karena semua orang menggunakan uang – apalagi uang kertas. Atau membebani orang-orang yang punya uang banyak.
Laju inflasi memang hanya sebuah indeks numerik. Tapi anehnya, para pejabat kita yang setiap bulan harus berbohong, sering menyembunyikan fakta bahwa laju inflasi sebenarnya angka-angka yang didasarkan pada kondisi hidup yang sama sekali berbeda. Mereka pura-pura tidak tahu dan tidak menjelaskan bahwa inflasi itu menyamaratakan seorang miliarder dan fakir miskin, padahal sesungguhnya itu ketimpangan yang luar biasa.
Ya, dampak negatif laju inflasi sepertinya memang disamakan akan menimpa semua orang. Gara-gara inflasi, jika seorang miliarder kehilangan 10% kekayaannya, untuk orang yang penghasilannya per tahunnya sampai Rp 100 miliar, inflasi 10% hanyalah mengurangi kekayaan mereka Rp 10 miliar. Dan sang miliarder tidak terlalu merasakan dampak negatif inflasi. Bukan hanya karena ia kaya. Karena uangnya bukan hanya disimpan di lemari di rumahnya atau di bank, tapi juga diinvestasikan. Dan mereka mendapatkan keuntungan lebih banyak justru dalam kondisi laju inflasitinggi.
Karena itulah orang-orang kaya senantiasa berjingkrak gembira saat laju inflasi meroket– protes mereka palsu saat menyoal makin mahalnya harga barang dan jasa, untuk menutupi kegembiraan di atas kemalangan orang lain. Pasalnya, hanya dengan ongkang-ongkang kaki, uang orang kaya yang ada di bank saja mendatangkan bunga tabungan atau deposito yang lebih banyak.
Ketahuilah, dalam kondisi inflasi tinggi, bank biasanya memberi bunga yang tinggi juga. Ya, bankster memang senantiasa memanjakan para pemilik dana besar dengan memberi bunga simpanan (tabungan dan deposito) yang tinggi kepada mereka, dan pada saat yang sama perbankan menikmati keuntungan yang besar dari bunga pinjaman.
Yang sebaliknya terjadi pada orang-orang berpenghasilan tetap, lebih-lebih yang pendapatannya tidak menentu. Inflasi membuat daya belinya terancam lenyap. Kehilangan Rp 100 juta, bahkan hanya Rp 10 juta, sudah menunjukkan kemerosotan substansial dalam daya beli mereka yang tidak diimbangi dengan meningkatnya perolehan dari investasi.
(Rasanya Sudah Cukup)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar