Senin, 10 Juli 2017

Definisi Legal Bank yang Tak Masuk Akal


Secara bertahap, pekerjaan sebagai karyawan bank rupanya telah memasung kecerdasan saya, sehingga saya menerima begitu saja tanpa daya kritis mengenai pengertian bank sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 butir 2 Undang-undang No. 14/1992 tentang Pokok-pokok Perbankan yang telah diubah dengan UU No. 7/1992 jo UU No. 10/1998. Di sana disebutkan, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Orang yang waras otaknya, dan yang perasaannya masih berfungsi, tentu akan berpendapat bahwa definisi legal bank itu jauh dari fakta yang sebenarnya. Kalau saya memercayainya sebagai kebenaran, sejatinya saya sedang memasung kecerdasan saya sendiri, dan menggembok pintu hati saya kemudian membuang anak kuncinya ke tengah laut.
Seorang bankir yang nyambi menjadi instruktur pelatihan kami–saat saya menjadi karyawan bank–menambahkan penjelasan mengenai tujuan bank dengan mengutip sebuah pernyataan–entah dari siapa–dengan teks begini: “Tujuan utama bank yaitu sebagai wahana pendukung pembiayaan pembangunan nasional dalam rangka pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah kesejahteraan rakyat, kecuali itu juga berfungsi untuk menghimpun dana masyarakat (funding) serta menyalurkannya kembali berupa pemberian kredit (lending) sehingga bank mempunyai kedudukan sebagai perantara uang (financial intermediary) masyarakat.” Saya dapat mengutip kalimat itu sampai ke titik dan komanya karena saya masih memiliki buku yang ia bagikan sebagai bahan pelatihan yang ia diberikan kepada kami.
Beberapa instruktur pelatihan bagi karyawan yang pernah saya ikuti bahkan sering menambahi definisi legal bank tadi dengan definisi lain yang lebih tidak masuk akal. Salah satunya, “Bank merupakan lembaga kepercayaan (fiduciary financial institution) yang bervisi sangat mulia karena diberi tugas mengemban amanat pembangunan bangsa demi terciptanya taraf hidup rakyat.”–sungguh, seperti itu teksnya yang tertulis dalam bahan pelatihan itu.
Bertahun-tahun kemudian, saya menyadari bahwa definisi legal bank sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 2 UU Perbankan itu, berikut tambahan dari para instruktur pelatihan kami, laksana kalimat yang ditulis oleh seseorang menjelang mabuk setelah menenggak whiski. Anehnya, saya, dan para karyawan bank lainnya, begitu rela kecerdasannya digembok dan anak kuncinya dibuang ke tengah samudera. Para instruktur biasanya juga tidak berminat membahas, apalagi menyebutkan definisi bank yang lain, yang lebih masuk akal.
Dalam naskah pelatihan yang dibagikan kepada kami, beberapa instruktur pelatihan memang menyer-takan definisi alternatif mengenai bank. Tapi karena merasa tidak wajib membuka ruang diskusi, mereka biasanya segera menindih kalimat sebelumnya dengan mengatakan, “Silakan kalian pelajari sendiri definisi yang lain.” Lalu dengan enteng meneruskan kalimatnya, “Mari kita lanjutkan pembahasan mengenai .…”
The sow must go on. Bla … bla … bla … Pelatihan selesai. Dan tanda tangan presensi pun berbuah uang transpor sekian ratus ribu rupiah. Kami kembali tenggelam dalam kesibukan kerja. Tenggelam dalam kegelapan.
Bertahun-tahun kemudian, saya menemukan kembali salah satu naskah pelatihan itu. Saya membaca ulang, dan di sana saya temukan dua definisi second opinion mengenai bank. Yang satu berasal dari Verryn Stuart: “Bank adalah badan yang bertujuan memuaskan kebutuhan kredit dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau uang yang diperolehnya dari orang lain maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat penukaran baru berupa uang giral.” Yang satu lagi disampaikan Hawtrey: “Bank adalah semua badan yang mengadakan jual-beli kredit.”
Kacamata saya memang sudah plus dua setengah. Tapi mata saya masih dapat melihat dengan awas, dan saya melihat pada dua definisi alternatif itu sama sekali tidak ditemukan berbagai teks yang mengaitkan fungsi bank dengan kalimat-kalimat bersayap yang memuakkan: “… meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”, “… dalam rangka pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah kesejahteraan rakyat” atau “… bervisi sangat mulia karena diberi tugas mengemban amanat pembangunan bangsa demi terciptanya taraf hidup rakyat.”
Saya menemukan definisi mengenai bank yang lain lagi. Kalau di hati para instruktur itu tidak ada lagi ruang tersisa untuk menerima kebenaran, saya yakin mereka tidak akan menulis definisi berikut ini dalam naskah pelatihannya. Definisi ini disampaikan oleh Frederic Soody. Profesor di Oxford University, Inggris, ini mengatakan: “Bank adalah lembaga yang seolah-olah meminjamkan uang namun sebenarnya tidak, mereka menciptakan uang. Dan saat pinjaman itu dilunasi, mereka menghilangkannya sekaligus mendapatkan sesuatu yang secara hukum fisik tidak mungkin terjadi. Mereka tidak saja mendapatkan sesuatu dari ‘udara hampa’, namun sekaligus mendapatkan bunga darinya.”
Dalam buku karyanya, Bunga Bank & Masalahnya: The Problem with Interest; Suatu Tinjauan Syar’i dan Ekonomi Keuangan (Akbar, 2008), Dr. Tarek el Diwany menulis kalimat pertama Bab Kesimpulan sebagai berikut: “Saya berpendapat bahwa alasan utama dan yang terpenting untuk mendukung pertumbuhan industri perbankan konvensional adalah mendapatkan keuntungan yang didapat dari proses penciptaan uang untuk kemudian dipinjamkan melalui konsep bunga. Perbankan dapat dianggap sebagai suatu industri dengan uang sebagai produknya. Di dalam era yang telah modern, motif yang sama untuk mendapatkan keuntungan yang selanjutnya mendorong perkembangan industri perbankan komersial dilaksanakan dengan cara yang lebih canggih. Seseorang dapat dianggap melanggar hukum jika ‘membuat’ uang di rumahnya sendiri, sementara sistem perbankan komersial modern diberikan perlindungan hukum yang penuh di dalam melakukan hal yang sama. Terlihat ada semacam ketidakadilan di dalam hal ini.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar