Senin, 10 Juli 2017

Seberapa Sukses Seorang Pengusaha? Lihat dalam Mobilnya!


Kisah berikut ini memang cerita sekelas obrolan di warung kopi atau angkringan. Anggaplah banyolan – tapi katakan lucu terhadap setiap humor, karena siapa tahu bisa memadamkan panas isi kepala akibat suntuk memikirkan harga sembako yang meroket, pajak yang kian tak bertepi, dan soal demokrasi yang belum juga tegak meski sudah digosok-gosok, serta soal keliru memilih presiden boneka.
Kisahnya begini. Seorang teman bercerita, ia mengukur sukses seorang pengusaha bukan hanya pada mobilnya. Ia juga memperhatikan struktur di dalam mobil sang pengusaha – lebih tepatnya, siapa-siapa yang duduk bersama sang pengusaha di dalam mobilnya.
Di awal sukses, pada tahapan “seperempat sukses”, katanya (apa pula ini teman, ada istilah “seperempat sukses”), kapasitas mobil seorang pengusaha biasanya lebih dari empat orang. Jika mereka bermobil menuju ke sebuah tempat impian untuk menikmati sukses, struktur duduk dalam mobil adalah seperti ini: sang pengusaha duduk di belakang kemudi, bersama sang istri di kursi depan. Anak-anak mereka duduk di kursi belakang. Bila sudah besar dan mampu mengemudikan mobil, anak sulung mereka bertindak sebagai sopir. Sang pengusaha dan istri duduk di kursi belakang, bersama satu-dua anak mereka yang lain, yang masih kecil. Anaknya yang lain, kalau ada, biasanya duduk di depan menemani sang kakak mengemudikan mobil.
Jika lebih sukses lagi, atau “setengah sukses”, tuturnya, mobilnya sedan. “Dan kau tak perlu mempermasalahkan, apakah mobilnya kreditan atau ia beli  secara kontan,”katanya.
Pada tahapan itu, katanya, sang pengusha belum memerlukan sopir. Ada versi lain, tapi itu hanya variasi. Versi umumnya, ia mengendarai sendiri mobilnya. Sang istri masih sering menemaninya beraktivitas. Jika menuju ke sebuah tempat untuk menikmati sukses, sang pengusaha berada di belakang kemudi. Sang istri duduk di sampingnya, menggendong anak mereka yang paling kecil.
“Ia tentu punya mobil lain. Bisa jadi mobil lamanya. Mobil itu mengekor di belakang mobilnya, atau mendahului. Mobil itu berisi anak-anak mereka yang sudah besar,” katanya.
Saat mobilitas vertikal membuat sang pengusaha dekat ke puncak sukses  – ia menamakannya, “tiga per empat sukses”, teman beraktivitas sang pengusaha bukan hanya sang istri.
Wow!
Sang pengusaha pun, katanya, tidak lagi mengemudikan sendiri mobilnya. Ia membutuhkan sopir. Bisa sopir pribadi, atau memanfaatkan sopir kantor. Ia menyerahkan urusan kelancaran dan kenyamanannya bermobilitas kepada sang sopir. Posisi duduk sang pengusaha pindah ke kursi belakang. Termasuk ketika satu mobil dengan istri.
Mobil lamanya?
“Dijual, atau ditukar mobil baru, lalu mobil itu diberikan kepada istrinya untuk mengantar si bungsu ke sekolah, dan belanja di mall. Anak-anak mereka yang sudah besar berangkat sekolah mengendari sepeda motor atau mobil masing-masing.”
Saat sang pengusaha berada di puncak sukses – ia mengistilahkan “90 persen sukses” – tahapan ini artinya urusan sang pengusaha bertambah kompleks. Tapi sang istri biasanya sudah tidak punya waktu lagi untuk menemaninya. Apalagi mengantar anak-anak ke sekolah. Selain anak-anak sudah besar, sang istri punya aktivitas sendiri. Maka sang pengusaha akan merekrut seseorang yang bertindak sebagai asisten.
Maka struktur duduk di mobil sang pengusaha pun berubah. Ia duduk di kursi belakang. Sedangkan sang asisten pribadi di kursi depan bersama sopir. Bila ia merasa kehadiran sang istri malah mengekang kebebasannya bergerak, ia akan membelikan mobil baru khusus untuk istrinya.
“Sekali lagi, kau jangan mempersoalkan apakah itu mobil dibeli kontan atau mobil kreditan,” katanya.
Apalagi bila sang istri bekerja, semakin sibuk, dan ingin beraktivitas tanpa gangguan anak-anak.
Eh, sukses bisnis itu hanya sampai 90 persen, ya?
“Ya. Kalau 100 persen, era keemasan bisnis, sang pengusaha biasanya langsung mati. Jadi, biar ada kisah lanjutannya, kita batasi sukses mereka sampai 90 persen saja.”
Lalu, anak-anak mereka?
“Mereka beraktivitas dengan mobil masing-masing. Mereka tidak lagi menjadi unsur struktur di dalam mobil sang pengusaha.”
Pada tahapan itu, kedua pendamping sang pengusaha sekaligus bertindak sebagai penyimpan rahasia sang bos. Pasalnya, pada tahapan ini, sang pengusaha bertingkah aneh-aneh. Merekalah yang mengetahui perilaku menyimpang sang bos, dan menjadi benteng rahasia bosnya.
Dalam posisi seperti itu, mereka sering beroleh tambahan penghasilan. Pertama, dari sang pengusaha, atas jasa mereka menyimpan rapat rahasia aktivitas menyimpang sang bos. Kedua, dari istri sang pengusaha untuk informasi mengenai segala perbuatan suaminya di luar rumah yang mereka bagikan.
Tapi bila sang istri pengusaha dominan, nasib mereka bisa di ujung tanduk. Sekali saja mereka menolak permintaan istri bos, jika mereka masih beruntung, statusnya turun: hanya sopir kantor, dan mereka dilarang keras membawa sang bos. Jika bernasib buruk, mereka harus siap-siap cari pekerjaan baru.
***
Ehm … saya jadi ingat, tempo hari, saat para penyidik komisi rasuah di negeri ini menelisik kasus-kasus korupsi pejabat publik dan pengusaha yang diduga korup, sopir dan asiten pribadi mereka menjadi sumber informasi.
Sempat muncul anekdot begini: Dicari asisten pribadi atau sopir pribadi untuk pejabat publik dan pengusaha korup dan menyimpang. Syarat utama: pintar berbohong! Gaji: “wow” – silakan sebut sendiri jumlahnya! Mereka dibayar bukan untuk kepiawaian melaksanakan tugas. Tapi untuk kemahiran menyimpan rahasia perilaku korup dan menyimpang sang bos.
Kisah teman tadi – mengenai struktur dalam mobil sebagai tolok ukur sukses seorang pengusaha – membawa saya pada kisah lain. Yakni cerita mengenai seorang atau sebuah tim yang saya sebut “pematut”. Dia atau mereka adalah sosok di belakang layar seorang pejabat publik. Tugas mereka mematut-matut atau memantas-mantaskan bosnya, membangun citra diri kinclong sang bos – karena sang bos bukan hanya ingin dipersepsikan sukses selama masa jabatan sekarang, namun sekian tahun ke depan juga ada target lebih tinggi lagi yang harus diraihnya (ikuti kisah mereka dalam tulisan berjudul: “Para Pematut”).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar