Senin, 10 Juli 2017

Mengapa Rakyat Harus Bayar Pajak?


Sebagian besar orang di negeri ini mengira hak menerbitkan uang ada pada pemerintahnya, sehingga muncul pertanyaan: mengapa rakyat harus bayar pajak? Bukankah kalau butuh uang, pemerintah tinggal memberi order kepada percetakan atau tukang sablon, dan sekian miliar lembar uang kertas kertas akan numpuk di brankasnya? Atau tinggal ngetik, dan sekian triliun rupiah uang bit milik pemerintah akan kerlap-kerlip di monitor komputer bank?
Itu dulu. Kalau dilakukan sekarang, bisa-bisa para pejabat pemerintah dituduh memalsu, meniru menggandakan uang. Hak menerbitkan uang tidak lagi pada pemerintah. Monopoli pencetakan uang kertas dan uang-uang ada pada bank sentral — ditukar guling dengan demokrasi.
Pemerintah tentu saja berjingkrak gembira, karena kata bosnya bank sentral, “Dengan ini barang, rakyatmu akan gembira, dilanda euforia, dan kau akan disanjung-sanjung setinggi awan. Dengan ini barang, bahkan jika rakyatmu telanjang dan wira-wiri di mall pun, dan orang-orang marah padanya, ia boleh bilang: Ini demokrasi, Bung!”
Jadi, sekarang, jika pemerintah perlu uang belanja, butuh biaya untuk membangun ini-itu, butuh uang untuk bayar gaji pegawainya, bank sentral akan memberi sebanyak yang pemerintah inginkan.
Tidak gratis, tentu saja — emangnya duit gambar togog. Sebagai jaminan, pemerintah menyerahkan surat utang, obligasi, kepada bank sentral. Namanya juga utang, pemerintah harus membayar utang itu plus bunganya saat obligasinya jatuh tempo.
Uang belanja saja minta ke bank sentral; lalu dengan apa pemerintah membayar utang?
“Kau kan punya penduduk ratusan juta orang. Pajaki saja mereka. Bila perlu, anak-anak dan bayi pun kau kutip pajaknya. Kalau masih kurang, janin pun bisa kau pajaki. Masih kurang juga, kalau rakyatmu kentut, suruh mereka bayar retribusi. Dengan uang pajak dan retribusi itulah kau membayar utang-utangmu,” kata bosnya bank sentral.
Mengapa bank sentral memerlukan kekuasaan menerbitkan uang?
Dengan kekuasaan itu, bank sentral sesuka hati mencetak uang atau nyablon uang kertas, atau membuat uang bit dengan hanya mengetik di keyboard komputernya, dan ia punya uang sebanyak yang ia mau. Terserah dia, uang buatannya itu hendak dilemahkan atau dikuatkan nilainya, diplorotkan atau didongkrak kursnya, bank sentral tinggal menghitung seberapa tinggi laju inflasi yang dia inginkan. Tujuannya adalah permainan angka-angka: pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, tingkat pengangguran.
Jika rupiah dilemahsyahwatkan, berarti bank sentral lagi ingin membuat ekonomi bergairah. Kalau ekonomi bergairah, pemerintah jadi senang. Mabuk kepayang. Namanya juga lagi mabuk, disuruh jual, misalnya, ibunya, juga akan diiyakan. Disuruh jual kedaulatan pun tidak akan menolak.
Misal jika nilai rupiah melorot, pemerintah terdorong untuk belanja lebih banyak. Mirip kalau lagi ada diskon, biasanya nafsu belanja juga menggelegak.
“Hai pemeritah, rupiah lagi letoy, nih (terhadap dolar),” kata bos bank sentral. “Rupiah yang loyo dapat mendongkrak daya saing produk rakyatmu dalam kompetisi dagang di pasar internasional. Karena laris, devisa pun akan mengalir masuk ke kantongmu.”
Devisa-devisa itu untuk apa?
Untuk bayar utang juga!
Dan … utang itu tidak akan pernah lunas terbayar, dan pajak pun semakin tidak bertepi!
http://tanpabank.com/mengapa-rakyat-harus-bayar-pajak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar