Rabu, 12 Juli 2017

Stimulus & Berbagai Campur Tangan Pemerintah

Saya pernah membaca sebuah buku yang agak kuno, kalau tak salah judulnya Economic in One Lesson, isinya kurang lebih adalah tentang kekonyolan masyarakat dalam hal persepsi mereka tentang berbagai isu-isu keuangan di sekeliling mereka.

Menurut si pengarang, berbagai kerumitan dan pertengkaran ekonomi terjadi karena 2 hal:
1. Kita hanya melihat efek jangka pendek dari sebuah keputusan.
2.Kita hanya melihat akibat sebuah keputusan terhadap sekelompok kecil orang, bukan terhadap seluruh komunitas.

Hari ini, saya akan memposting sebuah topik yang berhubungan dengan 2 poin di atas, yaitu “stimulus” dan berbagai campur tangan pemerintah lainnya.

Sebelum saya menulis lebih jauh, ada sebuah hal yang pantas untuk diungkit lagi, yaitu (lagi-lagi) tentang mekanika penciptaan uang.

Kalau Anda mendengar kalimat “pemerintah mencetak uang,” ingatlah bahwa kalimat itu sebenarnya hanyalah ungkapan. Memang benar yang mencetak uang logam dan uang kertas adalah Bank Indonesia, tetapi uang itu tidak muncul secara gratis ke tangan publik. Apalagi uang dalam bentuk digital elektronik di rekening, itu semua tidak gratis.

Yang saya maksudkan adalah status uang itu. Uang itu tidak muncul dalam bentuk debit (harta) kepada publik. Yang sebenarnya, uang muncul pertama kali dalam bentuk kredit (hutang).

Berjuta-juta orang mengajukan hutang di negeri ini, dan uang itu kemudian dibelanjakan dalam komunitas. Uang itu bisa dibelanjakan kepada jutaan orang lainnya, bahkan kepada ratusan juta orang lainnya.

Ratusan juta orang yang mendapatkan uang itu kemudian pun menabungkan uang itu kembali ke perbankan, dan lagi-lagi uang itu akan menjadi modal bagi perbankan untuk menciptakan lebih banyak kredit lagi ke debitur berikut.

Tentu saja, bagi orang-orang yang mendapatkan uang dari tangan para penghutang, uang mereka statusnya bukan kredit. Uang itu adalah debit (harta) bagi mereka. Namun, tetap saja, asal muasal uang mereka adalah dari hutang seseorang, sebuah perusahaan, maupun sebuah negara sebelumnya.

Dalam kasus negara yang berhutang, praktek yang lazim adalah negara menjual surat hutang kepada publik yang memiliki uang sebelumnya. Jadi, tidak ada uang baru yang muncul. Tidak ada pertambahan suplai uang. Uang cuma berpindah tangan, dari publik yang memiliki uang ke tangan pemerintah. Jumlah hutang negara memang bertambah, tetapi jumlah total suplai uang tidak.

Kasus “pemerintah mencetak uang” dan membelanjakannya sangat-sangat jarang dilakukan. Upaya mencetak uang untuk membayar hutang dalam sistem keuangan yang sedang kita gunakan (debt based money system) disebut dengan monetisasi hutang. Biasanya hanya negara-negara di ambang kebangkrutan yang akan melakukannya.

Jadi, ingat beberapa hal ini:

Suplai uang utama di sebuah negara datang dari rakyatnya. Uang tercipta saat aplikasi kredit seorang konsumen disetujui oleh bank. Uang mulai hilang saat konsumen membayar cicilan kredit kepada perbankan.

Uang (money) tidak sama dengan kekayaan (wealth). Kekayaan dalam bentuk barang yang diproduksi publik bisa bertahan di masyarakat dalam jangka waktu yang sangat lama, tetapi uang belum tentu. Uang bertahan di masyarakat sesuai kesepakatan saat kreasi uang (hutang) antara konsumen dengan perbankan. Ada uang yang beredar selama 1 tahun, ada yang 2 tahun, ada yang 5, 10, 20, ataupun 30 tahun (masa pembayaran kredit).

Untuk mempertahankan suplai uang di sebuah komunitas maupun negara, publik harus terus mencari area pengembangan baru, industri pengembangan baru, atau alasan apapun juga supaya mereka bisa mengajukan aplikasi kredit (uang) baru ke perbankan. Bila tidak, suplai uang akan berkurang. Dan ingat hal ini kawan… Tidak ada pengurangan suplai uang yang tidak diikuti oleh resesi / depresi. Tidak ada. Kalau Anda mau mencegah resesi, Anda harus terus menginflasikan suplai uang. Masalahnya, tentu saja, adalah apakah komunitas tersebut benar-benar sanggup terus mengajukan kredit dan memenuhi janji untuk membayarnya…

Ok, sekarang kita ke topik “Stimulus,” Apa benar pemerintah benar-benar sedang membantu ketika kita mendengar mereka mengucapkan kata ini? Kalau iya, mengapa tidak dari dulu-dulu saja dilakukan?

Pemerintah, sebagai sebuah institusi, bisa mendapatkan uang lewat beberapa cara, seperti:
• Setoran dividen dari perusahaan milik negara (BUMN).
• Penerbitan berbagai jenis surat hutang.
• Pajak.

(abaikan dulu skenario monetisasi hutang, karena itu benar-benar sangat jarang)

Dari ketiga sumber pendapatan di atas, secara umum di berbagai negara, sumber yang paling penting adalah PAJAK.

Ketika pemerintah mengatakan “Kami akan menggunakan 1 trilyun untuk membangun X dan menciptakan lapangan kerja sejumlah Y,” sesungguhnya ada 1 trilyun dari uang rakyatnya yang diambil secara “tidak suka rela,” sehingga rakyatnya tidak memiliki dana untuk membangun X dan menciptakan lapangan kerja sejumlah Y.

Kawan, atas dasar apa kita berpikir bahwa ada sesuatu yang bisa dilakukan oleh pemerintah yang tidak sanggup dilakukan sendiri oleh kita, para pembayar pajak?

Kecuali proyek-proyek yang memang dimonopoli oleh pemerintah, bila tidak, saya tidak bisa membayangkan memangnya seberapa pintar orang-orang di pemeritahan kita, seberapa jagonya para pegawai negeri, sehingga semua orang di sektor swasta harus menyerahkan sebagian uang mereka (pajak) agar pemerintah membangunkan sesuatu untuk mereka dan menciptakan lapangan kerja untuk mereka.

Untuk setiap bangunan dan infrastruktur yang dibangun pemerintah (moga-moga dibangun karena memang diperlukan, bukan sekadar untuk menyediakan lapangan kerja dan memberikan “stimulus”), ada industri-industri lainnya yang menjadi korban karena publik tidak lagi memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan mereka yang lain, umpamanya baju-bajuan, barang elektronik yang lebih baru, makanan yang lebih banyak, dan lain sebagainya.

Wajarnya, orang-orang yang memiliki uang akan melakukan setidaknya salah satu dari hal di bawah ini:
- Mengekspansi usahanya sendiri (bisa menciptakan lapangan kerja)
- Menanamkan uangnya di bisnis orang lain yang menurutnya bagus (bisa menciptakan lapangan kerja)
- Menghamburkan uangnya untuk membeli barang-barang konsumtif ataupun barang mewah (bisa menciptakan lapangan kerja)
- Menabung di bank (bank yang mendapatkan dana ini kemudian juga bisa menjadikan uang ini sebagai modal untuk menciptakan lebih banyak lagi kredit kepada publik, yang juga bisa menciptakan lapangan kerja)

Kecuali kita semua termasuk orang yang menyimpan semua uang di bawah bantal dan bertekad membawa uang ke peti mati, bila tidak uang kita secara langsung maupun tidak langsung tetap akan menciptakan lapangan kerja di komunitas kita, tanpa perlu campur tangan dari pemerintah.

Hal lain, walaupun saya tidak punya bukti, tetapi secara nalar saya percaya saya benar: Kemungkinan pemerintah untuk menghamburkan uang ke dalam proyek-proyek mereka, menurut saya lebih besar dibandingkan dengan kalau yang melakukannya adalah rakyatnya sendiri. Mengapa? Karena uang yang mereka gunakan bukan uang mereka! Kalau Anda tahu setiap kali Anda kekurangan uang, Anda selalu bisa meminta pajak lagi kepada publik, apakah Anda masih akan bersikap hati-hati dan memaksimalkan efisiensi dalam pengeluaran Anda?

Dan jangan lupa, pemerintah juga manusia biasa, butuh makan dan ingin membeli berbagai kebutuhan lainnya. Sebelum uang sampai ke proyek yang mereka canangkan, terlebih dahulu uang (pajak) harus melewati tangan mereka. Biaya yang mereka perlukan untuk membangun apapun juga akan lebih tinggi karena ada tambahan 1 tangan yang membutuhkan profit dalam pekerjaan / proyek mereka.

Anda paham maksud saya?

Jadi, mengenai stimulus, ingat hal ini:

Tidak ada uang baru yang tercipta saat stimulus dilakukan, yang ada hanyalah pemerintah menggunakan uang milik publik untuk menciptakan pekerjaan baru, seolah-olah kalau uang itu tetap di tangan publik, tidak akan ada pekerjaan yang bisa mereka ciptakan sendiri.

Dan kalau sebuah pemerintahan memutuskan untuk melakukan stimulus lewat penerbitan surat hutang baru, hutang tersebut nantinya juga harus dibayarkan kembali, plus bunga!

Contoh skenario yang lebih sinting lagi adalah model yang hendak dilakukan Amerika sekarang. Mereka sudah hidup dalam defisit yang amat besar (baik defisit anggaran pemerintah maupun defisit perdagangan), semua negara kreditur mereka diam-diam sebenarnya sudah sangat khawatir bagaimana caranya Amerika bisa membayar hutang-hutangnya. Sekarang justru pemerintahan di sana terus menerbitkan surat hutang baru, baik untuk mem-bail-out bankir kriminal di Wall Street, maupun untuk “menstimulasi” ekonomi dan menciptakan pekerjaan, seolah-olah rakyat mereka tidak sanggup menciptakan pekerjaan sendiri dan butuh campur tangan pemerintah.

Tapi perhatikan satu hal ini, bahkan sampai saat ini pun, pemerintah Amerika belum “mencetak uang,” (atau sudah mencetak tetapi belum ketahuan?) istilah yang sering kita dengar dalam konteks pemerintahan dan uang. Yang dilakukan sampai hari ini adalah memindahtangankan uang dari tangan publik ke tangan pemerintah supaya pemerintah bisa memberikannya kepada bankir dan juga untuk menciptakan sedikit lowongan pekerjaan.

Itu salah satu penyebab utama lesunya industri manufaktur dan retailer di negara-negara maju sekarang (tak lama lagi juga akan menjalar ke negara-negara berkembang lainnya). Uang yang seharusnya bisa digunakan oleh publik diarahkan ke tempat yang lain. Yang awalnya adalah krisis finansial (sistem keuangan perbankan) sudah berubah menjadi krisis ekonomi (aktifitas riil di masyarakat).

Saya bukan orang yang anti pemerintah, tetapi saya benar-benar tidak setuju dengan kekuasaan dan skala pemerintah yang terus membesar dari tahun ke tahun. Menurut saya, skala pemerintah seharusnya dibuat sekecil mungkin, dan jumlah pegawai negeri juga demikian.

Dalam imajinasi saya, pemerintah adalah sebuah institusi dengan skala sederhana untuk menyediakan infrastruktur umum, hukum yang berkeadilan, dan menyediakan uang untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya (hal yang telah diambil alih oleh kartel perbankan swasta!). Fakta bahwa skala pemerintahan di berbagai negara sudah berkembang sedemikian besar, dan terus membesar, benar-benar adalah fenomena yang berbahaya menurut saya.

Sedikit lucu juga ada yang menyebut pemerintah dengan istilah public servant (pelayan publik). Kenyataan yang sedang terjadi adalah pelayan ini sudah menjadi majikan, bahkan pemberi perintah (= pemerintah). Mengharapkan pemerintah untuk terus menambah pegawai dan menyediakan lapangan kerja sama saja dengan mengatakan kepada sebuah perusahaan / majikan yang sedang kekurangan uang bahwa solusi atas masalahnya adalah mencari & menggaji lebih banyak lagi pelayan.

Benar-benar gila…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar